Waktu kecil, siapa yang sering dapat pertanyaan “Kalau besar nanti mau jadi apa?”. Sepertinya itu jadi pertanyaan sejuta umat ke seorang anak kecil ya, mungkin terinfluence sama lagunya Susan dan Kak Ria jaman itu (Jangan mengira-ngira umur saya, iya, udah tua! LOL) Tapi bagaimana kalau ternyata pertanyaan itu berubah menjadi pernyataan “Kamu harus jadi apa…”?
Well, entahlah, postingan ini mungkin hanya sekedar curhatan saya atas kekhawatiran yang semakin hari semakin membebani pikiran. Seperti yang pernah saya cerita sebelumnya, saya tumbuh dari keluarga broken home. Jelas itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan, dan rasanya setiap manusia punya perjalanan hidupnya masing-masing, bedanya saya pernah ngerasain kehidupan yang lebih dramatis daripada drama seri telenovela. Hehehe
Masa kecil saya tidak banyak peran pendamping. Saya menjalani hari-hari sekolah biasa, bersaing dengan teman-teman di bidang akademis, dituntut berprestasi baik sampai selepas kuliah. Mungkin disitulah saya bisa sedikit bersyukur. Lho kok malah bersyukur ya? Gimana gak, di masa sekarang saya malah kasihan melihat anak-anak dituntut ini itu sedari umur mereka masih dini. Yang lebih saya sayangkan tuntutan itu datang dari orang tua mereka sendiri.
Eittsss para orang tua jangan protes dulu. Mungkin ada sebagian dari anda yang sudah bergumam,”alah Uchy kan belum jadi orang tua, jadi mana tau rasanya punya anak.” Indeed, betul sekali saya baru mau memasuki dunia parenting. Tapi saya pernah menjadi seorang anak. Seorang anak dengan masa lalu yang saya doakan tidak akan pernah terjadi kepada anak-anak anda. Atau sudah ada yang punya pikiran, “Anak kan anak saya, saya yang tahu apa yang terbaik buat mereka.” Hmm.. kalau pemikiran yang satu ini saya no comment deh, daripada debat panjang hahaha
Contoh kasus, ada anak-anak yang dari kecil sudah dituntut untuk jadi seperti yang orang tua mereka mau. Sorry but not sorry, buat saya pribadi pemikiran seperti itu terkadang hanya rasa egois yang dimiliki oleh orang tua. Kenapa egois? Ya mungkin dulu orang tuanya mau jadi model papan atas tapi apa daya cuma jadi model papan penggilesan gitu kan.. Jadi begitu punya anak langsung deh didandanin abis-abisan. Masa kecil anaknya dihabiskan sekolah modelling, ikut lomba ini itu, udah pakai makeup setebel orang nikahan, baju yang kekurangan bahan, dll. Gimana, udah mulai paham kenapa saya bilang itu egoisme orang tuanya? *nyengir kuda
Atau kasus yang jadi perbincangan seru antara saya dan mertua saya baru-baru ini. Mengenai “trend” orang tua memasukkan pesantren (atau istilahnya mondok) anak-anaknya yang masih usia sangat muda, dimulai dari usia SD. Saya ingatkan sebelumnya ya, kasus ini akan sangat sensitif, setiap orang tua mempunyai pandangannya sendiri-sendiri. Tapi izinkanlah saya memberikan pandangan dari sisi anak.
Kenapa saya bilang trend? Karena gak sedikit orang tua yang terdengar kalau cerita memasukkan anaknya ke pondok hanya sekedar gak mau kalah dengan tetangga, teman atau saudaranya. No.. no.. tidak ada salah dengan penerapan pendidikan agama di usia dini. Bahkan saya sangat setuju karena background saya dari TK dan SD di sekolah islam ternama dan sangat bersyukur pelajaran-pelajaran itu masih nyantol di kepala saya sampai sekarang. Tapi tahu gak anda kalau ada perasaan terasing saat seorang anak terpisah dari orang tua dan keluarga? Dan rasa itu gak akan hilang walau menjelang usia dewasa. Masa sebegitu dalamnya sih? Unfortunately yes.. Sedalam itu yang bisa dirasakan seorang anak saat terpisah jauh dan perlahan seperti kehilangan sosok orang tua.
Kebayang gak anak yang jauh itu saat mendengar ayah ibunya pergi bersama adik-adiknya, sedangkan dia gak bisa ikut. Mungkin ada pembelaan, “nanti kalau kakak libur, kita jalan-jalan juga ya.”. Atau saat si kakak dengar adiknya cerita dibelikan kamera nikon terbaru padahal si kakak yang sebenernya pengen banget punya kamera. Belum lagi saat kakak dengar cerita adiknya dimasakin ini itu sama ibunya, sang ibu akan bilang, “Nanti kalau kakak pulang, ibu masakin masakan kesukaan kakak ya.”
No, bukan itu poinnya. Tapi poinnya adalah kekecewaan yang dirasakan si kakak saat kejadian itu berlangsung. Sedih lho bapak-bapak, ibu-ibu harus ngerasain kekecewaan itu. Bukan lebay tapi perasaan anak kebanyakan sehalus itu dan bisa berbekas, kecuali kalau anaknya tambeng sekuat baja tapi juga jangan salah, ada anak-anak yang malah mengalihkan rasa kecewanya itu dengan menjadi pemberontak. Ahhh.. rasanya gak fair membiarkan seorang anak harus merasakan kekecewaan yang terus berulang di usia yang masih sangat muda.
Jujur tadinya saya pikir saya lebay, tapi saat ngobrol dengan ayah mertua tentang pola asuh anak, ternyata beliau pun merasakan hal yang sama. Saat usia SMA, beliau dititipkan di rumah saudaranya yang jauh. Dijenguk hanya sekali-kali oleh orang tua beliau. Sambil menerawang beliau hanya bilang, “Rasanya seperti dibuang.” Dang! Itu dia! Padahal mungkin maksud dari orang tua adalah agar hidup mandiri. Dan rupanya itu juga yang ingin adik saya isyaratkan saat dia masuk boarding school. Setiap dia pulang ke rumah dia sering bilang kalau dia kangen dengan Abah dan saya.
Begitu pun dengan ibu mertua saya saat beliau menceritakan kunjungannya ke salah satu panti asuhan bernuansa islami di kawasan Sukabumi. Salah seorang pendiri panti asuhan tersebut bercerita mengenai pola asuh yang kadang terlupakan oleh orang tua. Bahwa pada usia kanak-kanak sudah sepatutnya berada di bawah pengawasan full orang tuanya. Selain untuk memantau perilaku anak, ikatan yang dibangun antara orang tua dan anak haruslah kuat. Bagaimana ikatan itu terbentuk jika bertemu saja jarang? Orang tua tidak bisa menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada orang lain, walaupun seorang pendidik. Karena bagaimana pun juga memiliki kapasitas yang berbeda.
Menurut kacamata saya, bertemu setiap hari dengan orang tua adalah hal terbaik dalam setiap hidup seorang anak. Bisa berkumpul, bercerita sepanjang waktu, diskusi, mendapat perhatian dan dukungan yang memang sudah seharusnya. Bisa jadi itu juga suatu hal yang saya rindukan. Tapi rasanya juga tidak ada salahnya kok dengan menjadi pendamping yang baik untuk anak. Sehingga orang tua bisa mengarahkan apa yang baik dan apa yang tidak. 🙂
Mohon maaf jika ada yang tersinggung dengan tulisan saya ini. Saya bukan psikolog, bukan ahli anak-anak juga, tapi saya hanya mau belajar dari kesalahan terdahulu agar anak-anak saya kelak tidak harus merasakan rasanya terasing. Jika anda merasa bisa menyeimbangkan kondisi mental anak anda agar sejalan dengan keinginan anda, ya monggo.. Tapi saya minta tolong, jangan sampai anak jadi korban hanya karena ingin menuruti keinginan orang tua. Beruntung saya memiliki suami yang mempunyai pandangan yang sama. Satu janji kami, pertanyaan ke anak kami kelak, “Kamu mau jadi apa?” bukan pernyataan “Kamu harus jadi apa.” 🙂
aku ngerasain apa yg ditulis ini mba… pas kecil, papa pokoknya kepengen aku hrs jadi apa yg dia mau.. harus masuk ipa, harus kuliah di jurusan eksakta ato ekonomi… ga bisa kuliah di perhotelan, ga boleh ambil jurusan sastra…
padahal… bakat dan minatku itu cendrung ke arah bahasa ato sosial.. -__-
akibatnya apa? aku males blajar.. seadanya aja.. yg pnting bisa lulus.. lah aku ga tertarik kok ama pelajarannya 🙁
skr aku punya anak, aku ga mau ngulang kesalahan yg sama.. anak2ku hrs pilih sendiri apa yg mereka mau.
Kamu mau jadi apa dengan kamu harus jadi apa..Hmmm benar ya mbak..pertanyaan ini sekilas sama tapi artinya beda..